Senin, 22 Oktober 2012

belajar TAUHID


Saya sering mengingatkan diri saya dan jamaah, bahwa kerap kita melupakan Allah. Mulai dari urusan yang besar, sampe yang kecil. Atau sebaliknya, dari urusan yang kecil sampe yang besar. Dari urusan yang ringan sampe yang berat. Padahal Allah menyuruh kita mengingat-Nya, dan bersama-Nya, 24 jam, di seluruh sendi kehidupan. Bukan hanya saat susah, tapi juga saat senang. Bukan saja saat berduka, juga saat bahagia. Dan bukan saja pada penikmatan hasil ikhtiar, tapi juga sejak menit awalnya.

Kita lihat bagaimana Rasulullah mengajarkan niat dan doa. Sehingga kita tahu tidak ada satupun aktifitas kita yang tidak melibatkan Allah, yang tidak bersama Allah. Bahkan maaf ya, sampe makan dan buat air kecil dan besar, di awal dan di akhir kita disuruh melibatkan Allah dan bersama Allah, lewat doa dan niat. Subhaanallah kan? Harusnya ini mengajarkan kita semua bahwa di semua bab kehidupan kita mestinya ya begitu. Tapi masya Allah, kita ini sering lupanya ketimbang ingatnya. Lebih sering lalainya, ketimbang awasnya.

Dalam keadaan lapar, lalu Saudara ada duit 10rb, Saudara malah ingetnya ke tukang nasi goreng, he he he. Jarang banget ada yang dikasih lapar, lalu inget Allah. “Makasih ya Allah, saya dikasih lapar…”. Lalu bertambah-tambah menyebut Allah nya, tatkala lapar, pas megang duit 10rb… Teruuuusss bertambah-tambah lagi syukurnya, pas lapar, pas megang duit, paaaaaaasss tukang nasi goreng lewat… Asyik… Rasa lapar bertambah-tambah nikmatnya. Ada Allah di tengah-tengah kita.

Di Kuliah ini saya ingin mengajarkan kepada Saudara bagaimana kemudian ilmu dipakai, keyakinan dipakai. Yah kira-kira seperti inilah. Saudara kemudian bertambah-tambah iman nya.

Masa iya sih Ustadz sampe kayak gitu nya?

Laaaaahhhh, coba aja pikirin sendiri… Jangankan bab nasi goreng, la wong bab buang air kecil dan besar saja ada aturan sunnah Rasulnya… Iya kan? Sebab di sisi Allah dan Rasul-Nya, ga ada itu perkara kecil kalau sudah berurusan dengan tauhid, keyakinan, kebersyukuran, dan hal-hal yang menyangkut iman, ibadah atau amal saleh. Buang air kecil sering dipandang enteng. Buang air besar apalagi. Dianggep jorok. Nikmat bisa buang air, dipandang sebelah mata. Yang disebut “nikmat” adalah bisa makan doangan. Bukan buang air. Padahal kalo udah kena kanker prostat, bukan maen mahalnya. Apalagi kalau sampe dibuatkan saluran buang air buatan, dan ditutup lubang salurang buang air alami dari Allah…? Wuah…

Kita coba mulai nukik ke belajar keyakinan ya…

Saudara… Jika Saudara punya duit 10rb, lalu Saudara jalan ke tukang nasi goreng, dan Saudara bawa pulang itu nasi goreng, maka Saudara ga akan menemukan Allah di sana. Dan Saudara pun tidak mendapatkan Allah di hati dan di pikiran Saudara. Saudara akan menganggap, ya begitulah adanya. Kalau punya duit 10rb, lalu jalan ke tukang nasi goreng, maka pulang akan bawa nasi goreng.

Saudara lupa, bahwa hidup ini pun berisi kemungkinan-kemungkinan yang lain. Dunia ini bersifat relatif. Yang hakiki hanyalah Allah.

Bisa saja terjadi hal yang tidak Saudara inginkan… Saudara keluar dari rumah, tidak ada satupun yang dagang…

Sekalinya ada yang dagang, tukangnya ga ada. Saudara beralih ke dagangan yang lain, warteg misalnya, habis semua lauk pauknya… Hingga akhirnya Saudara megang duit pun, tetap ga makan…

Nah nah nah… Saya seneng bercanda dengan Saudara… Di urusan belajar keyakinan ini.

Jika Saudara memahami dunia ini Allah yang mengaturnya, siapa yang kemudian mengatur Saudara bisa dapat dan tidak nasi goreng?

Tidak kah Saudara mau berpikir, siapa yang memberi kemudahan buat Saudara, lalu tiba-tiba koq ada tukang nasi goreng yang dibuat oleh Allah lewat depan Saudara…?

Tidak kah Saudara mau berpikir, siapa yang kemudian memberi semua yang dagang kesibukan, sehingga meninggalkan tempat dagangnya. Sehingga Saudara tidak ketemu yang dagang…? Atau siapa yang “menghabiskan” barang dagangannya yang dagang…? Sehingga ketika Saudara datang, sungguhpun Saudara megang duit, pedagang nasi ga bisa ngasih nasinya buat Saudara…?

Coba jajal ilmu yakin, bahwa Allah yang memberi semua makhluk-Nya.

Betul Saudara… Coba jajal sedikit ilmu Saudara nanti saat Saudara sudah mulai belajar ilmu tauhid ini… Hingga bertambah iman dan keyakinan Saudara…

Saat lapar ada… Saudara jangan dulu pakai duit Saudara untuk beli nasi goreng…

Sebentar… Santai aja… Dibuat rileks…

Saudara jajal bersyukur dulu…

Saudara jajal berdoa dulu…

Ga usahlah pake sedekah dulu, he he he… Lebay nantinya, ha ha ha…

Cukup coba bersyukur dan berdoa. Berterima kasih seperti yang sudah dikutip di atas. Berterima kasih kepada Allah udah dikasih rasa lapar dan uang…

Tapi kalau mau sedekah, bisa juga… Tambah manteb. Tambah sempurna.

Gimana coba…?

Hmmm… Coba bilang, Yaa Robb… Saya mau beli nasi goreng… Ada 10rb nih… Mau beli dua ah… Yang satu bungkus buat orang lain…

Bisa juga kan?

Atau sekalian aja bercanda sama Allah. Ngarep.com keajaiban-Nya sekalian yang sempurna…

“Ya Allah, duit yang 10rb ini buat Engkau saja… Anterin aja saya nasi goreng yang saya ga kudu beli… Jadi duitnya kan POL buat hamba-Mu yang lain…”

He he he…

Lalu apakah Saudara kemudian berdiam diri?

Ya jangan. Setelah bersyukur dan berdoa, ya jalan aja ke tempat nasi goreng mangkal. Pesen aja di sana, beli di sana.

“Bang… Nasi goreng…”

“Pedes ga…?”

“1 pedes, 1 engga…”

Kita niatkan yang ga pedes, buat orang. Jaga-jaga yang kita kasih ga doyan pedes.

“Kasih aja ntar acar dan cabenya ya…”, begitu kita bilang sama si Abang.

Saudara, Saudara sudah mengundang Allah… Dan Allah akan datang loh…

“Mas, beli nasi goreng juga…?”, sapa seorang yang ga dikenal…

“Iya… Tinggal di sini…?”

“Engga. Lagi namu…”

Sejurus kemudian orang ini merogoh koceknya… “Bang, nih lima puluh ribu… Bikin 4 bungkus ya. Sekalian kembaliannya buat bayarin si mas ini, dan buat abang sisanya…”.

“Wah, makasih ya… Engga kenal, tapi mau bayarin…”.

***

Bila Saudara punya duit, jalan, lalu pulang bawa nasi goreng, peristiwa ini mungkin tidak akan menjadi peristiwa tauhid.

Wawloohu a’lam ya, andai Saudara bener-bener kuat tauhidnya. Umpama sungguhpun tidak ada orang yang bayarin, alias bayar sendiri, Saudara tambah bertasbih dan bertahmid, memuji Allah sebab akhirnya Saudara bisa makan. Saudara memandang, ga mungkin Saudara bisa keluar rumah, bila tidak ada rizki Allah berupa kaki, keselamatan, walo deket jaraknya. Dan Saudara memandang ada Allah, sehingga Saudara diizinkan makan.

Bukan apa, belom tentu juga kan saya bilang di atas, Saudara lalu bisa makan. Belom tentu. Bahkan ketika Saudara sudah nenteng itu bungkusan nasi goreng, belom tentu bisa makan kalau ga ada izin Allah.

Ini peristiwa sehari-hari yang mungkin saja Saudara alami loh…

Begitu pulang, ada tamu. Saudara lalu melayani tamu dulu. Nasi ditaro di dapur.

Lagi ngelayanin tamu, datang ponakan. Kita ga nyangka, kalo ponakan langsung nyelonong ke dapur. Liat-liat, ada nasi goreng. Diembat deh, he he he.

Tamu pulang, saudara lalu ke dapur. Yang ada tinggal acarnya doangan… ha ha ha…

Orang yang bertuhan Allah, senantiasa melihat semua kejadian, semua peristiwa, ada Allah, dan selalu ada Allah…

***

Saya mengajarkan diri saya, bergantunglah kepada Allah. Jangan pada selain Allah.

Saudara punya kesulitan. Lalu Saudara punya motor, yang dengan motor itu Saudara merasa “aman”, ini bahaya buat tauhid. Tanpa sadar, motor itu pelan-pelan menjadi tuhannya Saudara,

Saudara punya kesulitan, Saudara mengenal Saudaranya Saudara… Lalu Saudaranya Saudara itu membantu… Wuah, kadang ini malah lebih gawat buat tauhid Saudara…

Saudara ada keperluan, duit tersedia. Istri, anak-anak, rumah tangga, ada keperluan. Duit ada. Wuah, Allah biasanya “ga kepake”, “ga dipake”…

Berhala-berhala modern sekarang ini menjelma menjadi lebih banyak lagi berhala. Ia bisa uang, bisa sodara, bisa kawan, bisa majikan, bisa perusahaan, bisa pimpinan, bisa kekasih hati. Bisa banyak hal. Yakni bila kita bergantung kepada mereka itu, bila kita takut kepada mereka, bila kita berharap sama mereka. Sampe lupa dan melupakan Allah.

Sebentar ya. kita santai-santai belajarnya… Saya coba detailkan contohnya.

Saya ingin bertanya kepada Saudara…

(+) Saudara pengen ikan di pasar. Ikan mentah. Lalu Saudara punya duit. Saudara ingat tuh sama Allah?

Bagus kalau masih sempet bismillaah… Apalagi keluar rumah menuju ke pasar sambil niat ibadah. Masuk pasar juga sambil baca doa masuk pasar yang diajarkan Rasulullah.

Biasanya?

(-) Kalau bicara biasanya, bisa jadi baca bismillaah juga engga. He he he, nuduh ya?

(+) Yaaah, mudah-mudahan saja Saudara engga begitu. Amin.

Nah, sekarang siapa yang percaya bahwa jika Allah menghendaki, maka seseorang yang ga punya duit, bisa aja pergi ke pasar lalu pulang bawa tetap ikan…

(-) Meski ga ada duit?

(+) Iya. Meski ga ada duit.

(-) Tapi jika Allah menghendaki ya?

(+) Iya. Tentu. Bicaranya adalah jika Allah menghendaki.

(-) Kalau begitu, saya percaya.

(+) Buktinya apa? Berkenan ngetes?

(-) Ngetes gimana?

(+) Ngetes, dengan silahkan pergi ke pasar. Jangan bawa duit. Bisa?

(-) He he he… Ga ah. Kerajinan…

(+) Ga bisa kan? Merasa ga mungkin kan? Ke pasar ya harus bawa duit lah… Gitu kan? Seorang ibu jalan ke pasar, duitnya ketinggalan. Dompetnya ketinggalan. Kira-kira, balik lagi ke rumah ambil duit atau dompet? Atau lanjut jalan ke pasar?

(-) Kalau bicara umumnya, ya balik dulu. Pulang dulu. Sebab percuma. Masa ke pasar liat-liat doangan…?

(+) Nah, itu kira-kira kenapa? Sebab percayanya adalah kalo ada duit bisa belanja, kalo ga bawa duit ga bisa belanja. Kalo bawa Allah, masih ragu kan?

(-) Bawa Allah itu… Maksudnya?

(+) Bawa ajaran-Nya. Bawa cara-Nya.

Itu tadi cerita seorang ibu yang ketinggalan duit. Gimana kita belajar dari Imam Ali. Dikisahkan satu hari Sayyidatina Fathimah, istri Imam Ali, meminta tolong suaminya ini untuk membeli sesuatu di pasar. Diberinyalah sejumlah uang, dan berjalanlah Imam Ali ke pasar. Di tengah jalan, Imam Ali bukan ketinggalan uang, yang kemudian ia balik lagi ke rumah. Bukan. Imam Ali di tengah jalan memberi uang itu kepada yang lebih membutuhkan. Sabab bi-idznillaah Imam Ali tahu bukan karena duit beliau bisa belanja dan bisa bawa barang yang dipesan istrinya, tapi karena Allah, maka Imam Ali terus saja berjalan.

Beda banget kan dengan kita?

(-) Beda banget. Imam Ali sengaja menyerahkan duitnya ya? Bukan ketinggalan. Dan Imam Ali yakin Allah ada di pasar yang ia tuju.

(+) Persis…

Dan ternyata sampe pasar, betul Allah sudah menunggunya. Imam Ali dipercaya menjaga satu barang dagangan. Kemudian tidak berapa lama, Imam Ali diberikan keuntungan sepuluh kali lipat dari yang Imam Ali berikan buat orang lain. Imam Ali pulang bawa barang pesanan istri tersayang, dan juga bawa uang lebihan.

Di sini, di Kuliah Tauhid 01 ini, saya ingin langsung mengatakan kepada Saudara semua, inilah bedanya. Ketika Saudara bawa duit, dan yang ada di kepala Saudara adalah duit, dan hitungan material sebab akibat dunia saja, maka sekalipun Saudara bawa barang belanjaan, ya seukuran duit aja. Ga lebih. Tapi ketika Saudara membawa Allah, maka kemungkinan besar Saudara akan bawa lebih dari sekedar barang belanjaan. Minimal Saudara membawa pahala, membawa ibadah. Betul?

(-) Betul.

(+) He he he, ga usah dijawab. Biar bagian saya melanjutkan…

(-) Silahkan.

***

Saudara perlu mengetes pengetahuan Saudara akan keyakinan, dan mengetes apa yang menjadi keyakinan buat Saudara. Supaya nanti bisa bekerja dengan apa yang Saudara ketahui dan yakini.

Punya nih duit, lalu kepengen ada yang dibelanjai, sekali-kali tes. Ga usah dibawa itu duit. Seperti Imam Ali, bagiin aja. Kemudian jalan aja ke pasar. Silahkan dicari tahu, apakah ketika duit tidak dibawa, malah dibagiin, lalu pulang dengan tangan kosong? Pulang dengan tangan hampa? Jajal aja.

Saudara bikin daftar belanjaan. Dari a s/d j yang Saudara mau beli di supermarket besar. Total diperkirakan: 2jt.

Saudara tahu sedikit ilmu. Jika sedekah 1 dibalas 10. Kalo dibalik, maka kalau mau dapat 10, keluarkan 1. Dengan pengetahuan ini Saudara yang ada pengeluaran 2jt dan ada duit 2jt, lalu bekerja dengan pengetahuan ini. Dan diyakini.

Ambil 200rb. Keluarkan. Sisanya 1,8jt, silahkan dipergunakan untuk keperluan lain.

Lalu sebagaimana orang yang bawa duit, berjalanlah Saudara ke supermarket tersebut.

Sebagaimana Saudara punya duit, dan bawa duit, gagah aja melangkah. Masuk, ambil troli, dan mulailah jalan ke rak demi rak sesuai daftar belanjaan.

Jangan kaget bila kemudian Allah utus seseorang untuk membantu Saudara.

Sampe di rak pertama, ada yang menegur, “Lagi di sini? Belanja apaan?”

“Eh oh uh…”, sesaat Saudara bisa jadi ragu. Masa pengen bilang, “Lagi ngetes ilmunya Yusuf Mansur!”. Ha ha ha, bubarlah dunia persilatan jika bilang begitu. Biarlah ini urusan Saudara dengan Allah saja. dinikmati saja pertanyaan itu, dan ga usah memberitahu keadaan saat itu. Misalnya dengan mengatakan: Saya ini punya duit 2jt. Lalu jajal ilmu sedekah. Tadi pagi sedekah 200rb. Mudah-mudahan Allah yang belanjain saya.”

Ga perlu. Ga perlu begini. Ga perlu orang lain tahu. Maka begitu ditanya, ya jawab, “Saya lagi ada yang mau dibeli.”

Kita kemudian menemani beliau. Atau beliau yang menemani kita.

Beliau ambil barang a, diambilnya dua. Satu ditaro di keranjang Situ.

Beliau ambil barang b, diambilnya lagi dua. Satu ditaro di keranjang kosong tadi.

Dan seterusnya sampe j.

Ibu ini sadar-sadar pas mau bayar. Dari tadi dia bingung, mau dikasih tau soal duit ga ya? Ini orang maen masukin aja barang-barang ke keranjangnya. Mau nanya, siapa yang bayar? Gengsi.

Sebagaimana kita bawa duit, ya seperti itu pula kita manteb melangkah. Kemana? Ke kasir! He he he. Sampe kasir, beliau yang ketemu dengan kita, dan menemani kita belanja, bahkan masukin barang-barang ke kita, dialah yang bayarin. “Biar saya aja yang bayar…”. “Masukin Mbak ke bill saya. Sekalian sama barang-barang saya,” katanya kepada si kasir.

Berarti GA BUTUH IKHTIAR dong…?

Jangan buru-buru jawab. Ntar malah ga sempurna tauhidnya. Sebab tauhid yang bener juga tidak menjadikan Saudara lalu tidak berikhtiar. Ikutin saja dulu.

***

Kembali sebentar ke “ikan mentah” di atas.

Allah dan Rasul-Nya itu banyak mengajarkan kepada kita ajaran-ajaran-Nya dan ajaran-ajaran Rasul-Nya. Di antaranya kebersihan harta, kehalalan rizki, dan ibadah-ibadah serta amal-amal saleh. Dan jangan lupa. Allah pun mengajarkan keyakinan kepada-Nya. Dan di antara keyakinan yang diajarkan Allah adalah bahwa satu-satunya pemenuh kebutuhan adalah Allah. Satu-satunya pemberi rizki adalah Allah.

Ketika Saudara memanggil Allah, melibatkan Allah, di urusan Saudara, apakah Saudara tidak memerlukan ikhtiar? Kita coba lihat. Nyatanya, sebagai orang yang meyakini – misalnya – di urusan ikan mentah, tetap saja Saudara harus jalan. Harus ikhtiar.

Saya tanya, orang yang pengen ikan, sedang dia punya duit, dan tau ikan itu di pasar, gimana kemudian caranya? Maksudnya, apa yang dia ambil sebagai langkah konkrit?

Jalan ke pasar.

Betul. Dia jalan ke pasar.

Maka saya senang menggunakan kalimat ini, “Maka jalanlah ke pasar. Sebagaimana mereka yang punya duit, maka sebagaimana itu pula Anda jalan ke pasar. Anda punya Allah. Anda pake Allah.”

Sampe di pasar nanti, sebagaimana orang yang punya duit mendatangi tukang ikan, maka Anda datangilah tukang ikan.

He he he, makin seru nih. Sebagaimana yang megang duit, yang meyakini bahwa duit bisa ngebeli ikan, sedang Saudara pegang Allah sebagai pemberi ikan, bukan duit, maka “belilah” ikan itu!

“Bang, ini ikan berapa duit sekilonya?”

“17rb… Berapa kilo?”

PD aja jawabnya, “Dua kilo…”

Si tukang ikan pun milihin ikan yang bagus.

He he he, Saudara yang ga megang duit, akan gemeteran kali. Lah lah lah… Berani-beraninya ga megang duit lalu kemudian mesen ikan. Kan kalo udah dipilih, nanti dibungkus. Kalo sudah dibungkus, nanti serah terima. Si tukang ikan, ngasih ikan. Kita ngasih duit. Gitu kan?

Lah, kita kan ga bawa duit?

Betul. Tapi kita bawa iman. Kita bawa Allah. Kita bawa keyakinan bahwa bawa engga bawa ikan, bukan urusan duit. Urusan Allah. Bisa makan engga bisa makan, bukan urusan duit. Tapi urusan Allah.

PD aja.

“Ada tambahan lagi?” si tukang ikan nanya.

“Engga. Cukup.”

Si tukang ikan pun menyerahkan bungkusan ikan.

Detik itu, harusnya kita serahkan duit. Tappppiii… Tukang ikan ini bicara, “Ga usah bayar. Udah dibayarin.”

“Dibayarin siapa…?”, tanya kita basa basi, he he he.

“Dibayarin kawannya Mas. Katanya kawan SMU…”

Mata kita edarkan ke sekeliling. Ga ketemu yang dimaksud.

“Koq tahu saya mau beli ikan?”

Kata si tukang ikan, kawan ini tadi beli ikan di sini. Dia melihat Mas. Terus mengatakan feelingnya kawan ini mau jalan ke saya. Beli ikan. Lalu dia bayarin, seakan-akan Mas bener-bener mau beli ikan. Terus dia berlalu, ga perlu ketemu katanya. Bilang aja begitu.

Subhanallah…
(by: yusuf mansyur)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar