Rabu, 16 Januari 2013

Orang “kaya” yang “miskin”


Sahabat sekalian,  beberapa waktu yang lalu, suatu sore ketika  saya baru saja tiba kembali di rumah, salah satu pengurus rumah tangga di rumah saya bercerita,  kalau dia dan temannya pengurus rumah tangga kami lainnya, serta beberapa pengurus rumah tangga dan beberapa driver rumah tetangga, baru saja berpesta kebun dan berenang bersama.
Dan saat itu saya merespon dengan senyum dan biasa saja. Saya berpikir bahwa mereka para pengurus rumah tangga dan driver ini toh sesekali juga memang perlu refreshing dan bersosialisasi.  Jadi wajarlah saat mereka senggang dan sudah selesai dengan tugas pekerjaannya, kalau mau berkumpul dan berenang bersama di taman dan club house dalam cluster perumahan kami yang letaknya sangat dekat, hanya selisih 2 kavling saja dari rumah kami.
Tetapi saya cukup terkejut, karena saat saya konfirmasi ulang, ternyata mereka bukan berenang di club house seperti dalam bayangan pikiran saya sebelumnya. Tetapi ternyata, mereka berenang di kolam renang pribadi rumah tetangga  kami, yang kebetulan di halaman belakang rumahnya ada kolam renangnya…..hahaha…..
Jadi sewaktu tuan pemilik rumahnya  pergi ke kantor tempatnya bekerja…… semua fasilitas yang ada di rumahnya, termasuk kolam renang pribadinya dimanfaatkan dan digunakan berenang oleh para pengurus rumah tangga dan driver …..hahahaha
Saya dan istri saya langsung ngakak habis habisan…….
Kenapa kami tertawa, selain karena memang hal tersebut lucu, dan juga karena kami ingat cerita tentang kejadian serupa, yang pernah kami dengar sebelumnya dari salah seorang kawan kami duluuuuu sekali….
Di tahun 2000an, sewaktu kami baru saja belajar dan mengetahui adanya tentang kebebasan uang dan kebebasan waktu. Teman kami itu dalam salah satu kesempatan mengatakan, bahwa banyak orang ‘kaya’ yang rumahnya besar, garasinya muat lebih dari 2 mobil, bahkan di rumahnya ada kolam renang pribadi, tapi sebenarnya “miskin” waktu……
Ya benar, “kaya” dalam hal harta kekayaan, tapi “miskin” dalam hal waktu, karena saking sibuknya bekerja, berangkat pagi – pulang malam, bahkan hari Sabtu – Minggu pun terkadang harus bekerja, main golf untuk melobby rekanan bisnis, keluar kota, atau bersosialisasi diluar rumah dan segala macam kesibukan lainnya.
Sehingga merekapun tidak memiliki waktu untuk menikmati segala macam fasilitas yang ada di rumahnya sendiri, bahkan bertemu dan berkumpul dengan keluarga, anak dan istri atau suaminyapun sampai sampai hanya sedikit sekali, bahkan hampir tidak ada.
Waktu itu teman kami bercerita, bahwa suatu hari dia menginap di rumah salah seorang teman baiknya yang sangat kaya, tinggal di sebuah komplek perumahan ekslusif dan rata rata tiap rumah di situ memiliki  kolam renang di rumahnya.
Beberapa hari menginap di rumah teman baiknya itu, teman kami heran, karena setiap sore diatas jam 4 sore, dari tetangga rumah teman baiknya terdengar suara musik dangdut yang cukup keras dan terkadang disertai suara cekakak cekikik beberapa orang.
Teman saya heran, karena setahu dia, rumah temannya itu berada di komplek perumahan elite, yang jauh dari kampung…. Tapi kok rumah elite…. Seleranya musik dangdut ya? Demikian pikir dia. Dan iseng iseng dia tanya ke temannya pemilik rumah, “itu suara musik dangdut darimana sih dan siapa sih yang menyetelnya?”
Kemudian teman baiknya mengajak teman saya untuk naik ke atap dak lantai 3 rumahnya, dan mengintip ke halaman belakang rumah tetangganya, dan terlihatlah pemandangan sebuah kolam renang pribadi yang sedang dipakai berenang oleh para pengurus rumah tangga dan driver driver, di saat pemilik rumahnya sedang pergi bekerja…..
Sewaktu teman kami bercerita tentang hal tersebut, kami juga ikut ngakak dan berpikir itu hanyalah lelucon saja, bumbu dari penjelasannya tentang apa itu kebebasan keuangan dan kebebasan waktu.
Sampai saat kami dengar sendiri pengurus rumah tangga kami bercerita tentang acara renang barengnya hari itu, kami berdua baru  sadar, bahwa ternyata cerita teman kami saat itu bukan sekedar lelucon, tapi memang benar benar kenyataan yang terjadi di sekitar kita …hahaha….
Dan memang ketika kami ingat ingat dan amati, selama kami tinggal bertetangga di lingkungan perumahan kami ini, memang benar apa yang dikatakan teman kami dulu…. Bahwa banyak orang yang “kaya” secara harta kekayaan, tetapi mereka “miskin” dalam hal waktu atau belum bisa bebas secara waktu.
Nah  sahabat sekalian, mengapa hal itu bisa terjadi? Ya karena sebagian besar, atau bahkan seluruh penghasilan mereka adalah penghasilan aktif, yang hanya bisa didapat ketika mereka menukarkan waktu, tenaga, pikiran dan keahliannya dengan penghasilan mereka yang besar.
Sehingga ketika mereka ingin menikmati penghasilannya yang besar itu, di satu sisi membuat mereka tidak bisa benar benar menikmatinya, karena penghasilannya adalah penghasilan aktif. Sehingga jika mereka ingin menikmatinya, otomatis mereka harus mengorbankan sebagian penghasilannya tersebut.
Hal ini mengingatkan saya sewaktu, saya masih bekerja di US, waktu itu pernah, saya “terpaksa” harus mengorbankan tidak mendapat penghasilan aktif saya beberapa ribu dollar, untuk supaya saya bisa berlibur dan pergi melancong ke kota lain …..hmmmmmmm jadi selama pergi berlibur 2 minggu itu, saya tidak menghasilkan penghasilan 1 dollarpun, malah uang tabungan yang saya simpan selama itu, habis terpakai untuk membiayai perjalanan saya tersebut.
Sahabat sekalian, itulah perbedaan yang sangat nyata antara penghasilan aktif dengan penghasilan pasif. Dengan memiliki penghasilan pasif, hidup kita akan terasa sangat berkelimpahan,…..mengapa demikian?
Sebab, dengan penghasilan pasif, kita tetap bisa tidur dan bangun kapanpun kita mau, tidak usah harus “terpaksa” bangun oleh suara alarm/beker di pagi hari, kita tetap bisa menikmati semua fasilitas yang ada sewaktu orang lain sedang sibuk bekerja, kita tetap dapat berlibur, tanpa harus merasa khawatir akan kehabisan uang tabungan, karena selama kita berlibur, selama kita tidur, selama kita santai sekalipun penghasilan pasif kita tetap datang melalui aset aset produktif yang kita miliki… itulah yang dinamakan kebebasan waktu… kita bisa menikmati hidup kita kapanpun kita mau, tanpa merasa takut tidak menghasilkan uang.
Atau dengan kata lain, dengan memiliki penghasilan pasif, kita tidak perlu mengorbankan salah satu, apakah itu penghasilan aktif atau waktu. Saat kita bisa mendapatkan keduanya sekaligus, baik penghasilannya maupun waktu luangnya, itulah yang dinamakan kebebasan keuangan dan waktu.
Jadi apabila saat ini Anda memiliki, penghasilan 100 juta perbulan sekalipun. Tetapi ketika Anda sakit, tidur, malas ke kantor, pergi berlibur atau ingin dirumah saja, penghasilan itu tidak bisa Anda dapatkan, segeralah mencari cara untuk mengubah, mengkonversi penghasilan aktif Anda itu menjadi pasif, agar Anda menjadi orang kaya dalam arti yang sesungguhnya.
Karena berapapun besarnya penghasilan aktif Anda saat ini, selama penghasilan Anda itu masih harus aktif didapatkan, artinya Anda belum bebas secara keuangan ataupun waktu….
Nah sekarang pertanyaan saya, kapan dan berapa lama waktu yang Anda butuhkan untuk mencapai kebebasan keuangan dan waktu didalam hidup Anda?
Silakan Anda tuliskan jangka waktunya di kolom komentar di bawah ini ya. Ingat, dengan berani menuliskannya, artinya Anda sudah selangkah lebih dekat dengan target, impian, goal atau outcome Anda.
Salam Sukses Berkelimpahan,

Jumat, 04 Januari 2013

Rp 150,- sangat berharga

Sahabat…
Ada satu kisah yang sangat BERHARGA, diceritakan seorang trainer Kubik Leadership yang bernama Jamil Azzaini di kantor Bea dan Cukai Tipe A Bekasi sekitar akhir tahun 2005. Dalam berceramah agama, beliau menceritakan satu kisah dengan sangat APIK dan membuat air mata pendengar berurai.  Berikut ini adalah kisahnya:
Pada akhir tahun 2003, istri saya selama 11 malam tidak bisa tidur. Saya sudah berusaha membantu agar istri saya bisa tidur, dengan membelai, diusap-usap, masih susah tidur juga. Sungguh cobaan yang sangat berat. Akhirnya saya membawa istri saya ke RS Citra Insani yang kebetulan dekat dengan rumah saya. Sudah 3 hari diperiksa tapi dokter tidak menemukan penyakit istri saya. Kemudian saya pindahkan istri saya ke RS Azra, Bogor. Selama berada di RS Azra, istri saya badannya panas dan selalu kehausan sehingga setiap malam minum 3 galon air Aqua. Setelah dirawat  3 bulan  di RS Azra, penyakit istri saya belum juga diketahui penyakitnya.
Akhirnya saya putuskan untuk pindah ke RS Harapan Mereka di Jakarta dan langsung di rawat di ruang ICU.  Satu malam berada di ruang ICU pada waktu itu senilai Rp 2,5 juta.  Badan istri saya –maaf- tidak memakai sehelai pakaian pun. Dengan ditutupi kain, badan istri saya penuh dengan kabel yang disambungkan ke monitor untuk mengetahui keadaan istri saya. Selama 3 minggu penyakit istri saya belum bisa teridentifikasi, tidak diketahui penyakit apa sebenarnya.
Kemudian pada minggu ke-tiga, seorang dokter yang menangani istri saya menemui saya dan bertanya, “Pak Jamil, kami minta izin kepada pak Jamil untuk mengganti obat istri bapak.”
“Dok, kenapa hari ini dokter minta izin kepada saya, padahal setiap hari saya memang gonta-ganti mencari obat untuk istri saya, lalu kenapa hari ini dokter minta izin ?”
“Ini beda pak Jamil. Obatnya lebih mahal dan obat ini nantinya disuntikkan ke istri bapak.”
“Berapa harganya dok?”
“Obat untuk satu kali suntik 12 juta pak.”
“Satu hari berapa kali suntik dok?”
“Sehari 3 kali suntik.”
“Berarti sehari 36 juta dok?”
“Iya pak Jamil.”
“Dok, 36 juta bagi saya itu besar sedangkan tabungan saya sekarang hampir habis untuk menyembuhkan istri saya. Tolong dok, periksa istri saya sekali lagi. Tolong temukan penyakit istri saya dok.”
“Pak Jamil, kami juga sudah berusaha namun kami belum menemukan penyakit istri bapak. Kami sudah mendatangkan perlengkapan dari RS Cipto dan banyak laboratorium namun penyakit istri bapak tidak ketahuan.”
“Tolong dok…., coba dokter periksa sekali lagi. Dokter yang memeriksa dan saya akan berdoa kepada Rabb saya. Tolong dok dicari”
“Pak Jamil, janji ya kalau setelah pemeriksaan ini kami tidak juga menemukan penyakit istri bapak, maka dengan terpaksa kami akan mengganti obatnya.” Kemudian dokter memeriksa lagi.
“Iya dok.”
Setelah itu saya pergi ke mushola untuk shalat dhuha dua raka’at. Selesai shalat dhuha, saya berdoa dengan menengadahkan tangan memohon kepada Allah, -setelah memuji Allah dan bershalawat kepada Rasululloh,
“Ya Allah, ya Tuhanku….., gerangan maksiat apa yang aku lakukan. Gerangan energi negatif apa yang aku lakukan sehingga engkau menguji aku dengan penyakit istriku yang tak kunjung sembuh. Ya Allah, aku sudah lelah. Tunjukkanlah kepadaku ya Allah, gerangan energi negatif apakah yang aku lakukan sehingga istriku sakit tak kunjung sembuh ? sembuhkanlah istriku ya Allah. Bagimu amat mudah menyembuhkan penyakit istriku semudah Engkau mengatur Milyaran planet di muka bumi ini ya Allah.
Kemudian secara tiba-tiba ketika saya berdoa, “Ya Allah, gerangan maksiat apa yang pernah aku lakukan? Gerangan energi negatif apa yang aku lakukan sehingga aku diuji dengan penyakit istriku tak kunjung sembuh?” saya teringat kejadian berpuluh-puluh tahun yang lalu, yaitu ketika saya mengambil uang ibu sebanyak Rp150,-.
Dulu, ketika kelas 6 SD, SPP saya menunggak 3 bulan. Pada waktu itu SPP bulanannya adalah Rp 25,-. Setiap pagi wali kelas memanggil dan menanyakan saya, “JaMil, kapan membayar SPP ? JaMil, kapan membayar SPP ? JaMil, kapan membayar SPP ?” Malu saya. Dan ketika waktu istrirahat saya pulang dari sekolah, saya menemukan ada uang Rp150,- di bawah bantal ibu saya. Saya mengambilnya. Rp75,- untuk membayar SPP dan Rp75,- saya gunakan untuk jajan.
Saya kemudian bertanya, kenapa ketika berdoa, “Ya Allah, gerangan maksiat apa? Gerangan energi negatif apa yang aku lakukan sehingga penyakit istriku tak kunjung sembuh?” saya diingatkan dengan kejadian kelas 6 SD dulu ketika saya mengambil uang ibu. Padahal saya hampir tidak lagi mengingatnya ??. Maka saya berkesimpulan mungkin ini petunjuk dari Allah. Mungkin inilah yang menyebabkan istri saya sakit tak kunjung sembuh dan tabungan saya hampir habis. Setelah itu saya menelpon ibu saya,
“Assalamu’alaikum Ma…”
“Wa’alaikumus salam Mil….” Jawab ibu saya.
“Bagaimana kabarnya Ma ?”
“Ibu baik-baik saja Mil.”
“Trus, bagaimana kabarnya anak-anak Ma ?”
“Mil, mama jauh-jauh dari Lampung ke Bogor untuk menjaga anak-anakmu. Sudah kamu tidak usah memikirkan anak-anakmu, kamu cukup memikirkan istrimu saja. Bagaimana kabar istrimu Mil, bagaimana kabar Ria nak ?” –dengan suara terbata-bata dan menahan sesenggukan isak tangisnya-.
“Belum sembuh Ma.”
“Yang sabar ya Mil.”
Setelah lama berbincang sana-sini –dengan menyeka butiran air mata yang keluar-, saya bertanya, “Ma…, Mama masih ingat kejadian beberapa tahun yang lalu ?”
“Yang mana Mil ?”
“Kejadian ketika Mama kehilangan uang Rp150,- yang tersimpan di bawah bantal ?”
Kemudian di balik ujung telephon yang nun jauh di sana, Mama berteriak, (ini yang membuat bulu roma saya merinding setiap kali mengingatnya)
“Mil, sampai Mama meninggal, Mama tidak akan melupakannya.” (suara mama semakin pilu dan menyayat hati),
“Gara-gara uang itu hilang, mama dicaci-maki di depan banyak orang. Gara-gara uang itu hilang mama dihina dan direndahkan di depan banyak orang. Pada waktu itu mama punya hutang sama orang kaya di kampung kita Mil. Uang itu sudah siap dan mama simpan di bawah bantal namun ketika mama pulang, uang itu sudah tidak ada. Mama memberanikan diri mendatangi orang kaya itu, dan memohon maaf karena uang yang sudah mama siapkan hilang. Mendengar alasan mama, orang itu merendahkan mama Mil. Orang itu mencaci-maki mama Mil. Orang itu menghina mama Mil, padahal di situ banyak orang. …rasanya Mil. Mamamu direndahkan di depan banyak orang padahal bapakmu pada waktu itu guru ngaji di kampung kita Mil tetapi mama dihinakan di depan banyak orang. SAKIT…. SAKIT… SAKIT rasanya.”
Dengan suara sedu sedan setelah membayangkan dan mendengar penderitaan dan sakit hati yang dialami mama pada waktu itu, saya bertanya, “Mama tahu siapa yang mengambil uang itu ?”
“Tidak tahu Mil…Mama tidak tahu.”
Maka dengan mengakui semua kesalahan, saya menjawab dengan suara serak,
“Ma, yang mengambil uang itu saya Ma….., maka melalui telephon ini saya memohon keikhlasan Mama. Ma, tolong maafkan Jamil Ma…., Jamil berjanji nanti kalau bertemu sama Mama, Jamil akan sungkem sama mama. Maafkan saya Ma, maafkan saya….”
Kembali terdengar suara jeritan dari ujung telephon sana,
“Astaghfirullahal ‘Azhim….. Astaghfirullahal ‘Azhim….. Astaghfirullahal ‘Azhim…..Ya Allah ya Tuhanku, aku maafkan orang yang mengambil uangku karena ia adalah putraku. Maafkanlah dia ya Allah, ridhailah dia ya Rahman, ampunilah dia ya Allah.”
“Ma, benar mama sudah memaafkan saya ?”
“Mil, bukan kamu yang harus meminta maaf. Mama yang seharusnya minta maaf sama kamu Mil karena terlalu lama mama memendam dendam ini. Mama tidak tahu kalau yang mengambil uang itu adalah kamu Mil.”
“Ma, tolong maafkan saya Ma. Maafkan saya Ma?”
“Mil, sudah lupakan semuanya. Semua kesalahanmu telah saya maafkan, termasuk mengambil uang itu.”
“Ma, tolong iringi dengan doa untuk istri saya Ma agar cepat sembuh.”
“Ya Allah, ya Tuhanku….pada hari ini aku telah memaafkan kesalahan orang yang mengambil uangku karena ia adalah putraku. Dan juga semua kesalahan-kesalahannya yang lain. Ya Allah, sembuhkanlah penyakit menantu dan istri putraku ya Allah.”
Setelah itu, saya tutup telephon dengan mengucapkan terima kasih kepada mama. Dan itu selesai pada pukul 10.00 wib, dan pada pukul 11.45 wib seorang dokter mendatangi saya sembari berkata,
“Selamat pak Jamil. Penyakit istri bapak sudah ketahuan.”
“Apa dok?”
“Infeksi prankreas.”
Saya terus memeluk dokter tersebut dengan berlinang air mata kebahagiaan, “Terima kasih dokter, terima kasih dokter. Terima kasih, terima kasih dok.”
Selesai memeluk, dokter itu berkata, “Pak Jamil, kalau boleh jujur, sebenarnya pemeriksaan yang kami lakukan sama dengan sebelumnya. Namun pada hari ini terjadi keajaiban, istri bapak terkena infeksi prankreas. Dan kami meminta izin kepada pak Jamil untuk mengoperasi cesar istri bapak terlebih dahulu mengeluarkan janin yang sudah berusia 8 bulan. Setelah itu baru kita operasi agar lebih mudah.”
Setelah selesai, dan saya pastikan istri dan anak saya selamat, saya kembali ke Bogor untuk sungkem kepada mama bersimpuh meminta maaf kepadanya, “Terima kasih Ma…., terima kasih Ma.”
Namun…., itulah hebatnya seorang ibu. Saya yang bersalah namun justru mama yang meminta maaf. “Bukan kamu yang harus meminta maaf Mil, Mama yang seharusnya minta maaf.”
Sahabat …
Maha benar sabda Rasulullaah shalallaahu ’alaihi wa sallam :
Ridho Allah tergantung kepada keridhoan orang tua dan murka Allah tergantung kepada kemurkaan orang tua (HR Bukhori, Ibnu Hibban, Tirmidzi, Hakim)
Ada tiga orang yang tidak ditolak doa mereka:  orang yang berpuasa sampai dia berbuka, seorang penguasa yang adil, dan doa orang yang teraniaya. Doa mereka diangkat Allah ke atas awan dan dibukakan baginya pintu langit dan Allah bertitah, ‘Demi keperkasaan-Ku, Aku akan memenangkanmu (menolongmu) meskipun tidak segera.” (HR. Attirmidzi)
Kita dapat mengambil HIKMAH bahwa:
Bila kita seorang anak:
  • Janganlah sekali-kali membuat marah orang tua, karena murka mereka  akan membuat murka Allah subhanau wa ta’ala. Dan bila kita ingin selalu diridloi-Nya maka buatlah selalu orang tua kita ridlo kepada kita.
  • Jangan sampai kita berbuat zholim atau aniaya kepada orang lain, apalagi kepada kedua orang tua, karena doa orang teraniaya itu terkabul.
Bila kita sebagai orang tua:
  • Berhati-hatilah pada waktu marah kepada anak, karena kemarahan kita dan ucapan kita akan dikabulkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala, dan kadang penyesalan adalah ujungnya.
  • Doa orang tua adalah makbul, bila kita marah kepada Anak, berdoalah untuk kebaikan anak-anak kita, maafkanlah mereka.
Semoga bermanfaat dan bisa mengambil HIKMAH (https://kata2hikmah0fa.wordpress.com)