Sabtu, 13 Juli 2013

Syarat kebahagiaan

Sepasang suami istri sedang menantikan kehadiran seorang bayi di tengah-tengah mereka. Telah lima tahun menikah, tetapi anak yang mereka harapkan tidak kunjung datang. Berbagai cara sudah ditempuh, mulai dari memeriksakan diri ke dokter, tidak mengambil pekerjaan yang dapat menyebabkan stres, berolahraga dengan teratur, sampai bulan madu yang kedua. Namun, hasilnya tetap saja mengecewakan. Tes laboratorium selalu menunjukkan hasil negatif.
Sampai akhirnya, sepasang suami istri tersebut menjadi depresi dan saling menyalahkan diri. “Suamiku, maafkan aku. Aku tidak dapat menjadi istri yang baik untukmu. Aku tidak dapat membuatmu bahagia!” Air mata sang istri mengalir deras.
“Tidak. Akulah yang tidak dapat memberimu seorang anak. Aku telah gagal menjadi seorang kepala keluarga. Maaf, aku sudah mengecewakanmu.”
Seperti itulah yang terjadi setiap hari, menyalahkan diri sendiri tanpa dapat berbuat apa-apa. Setiap kali mereka me- ngunjungi seorang dokter kandungan, dokter itu selalu menganjurkan agar mereka mengadopsi anak saja.
Masalah rumah tangga dan pekerjaan kantor membuat sang suami lebih frustrasi. “Tuhan apa yang salah dariku? Telah bertahun-tahun aku mengikut-Mu dengan setia. Aku tidak pernah melakukan sesuatu yang membuat-Mu kecewa. Namun, sekarang apa yang sudah Kau lakukan terhadap keluargaku? Engkau membuatnya menjadi berantakan! Selama ini aku terus-menerus berdoa dan meminta, berharap Engkau akan memberikan kami seorang anak. Aku terus mencari sampai menemukan sebuah jawaban yang pasti dari-Mu. Aku tak bosan mengetuk pintu hati-Mu, meskipun Engkau bergeming Apa lagi yang kurang, Tuhan? Tidak dapatkah pengorbananku yang tulus itu menggetarkan hati dan membukan pintu yang selama ini Engkau tutup?”
Di tengah keputusasaannya, ia mendengar ada suara datang dari hatinya, “Apakah kehadiran seorang anak lebih penting daripada kehadiran-Ku di dalam keluargamu? Apakah hidupmu tidak akan bahagia jika keinginanmu itu tidak Aku penuhi? Mengapa engkau menaruh persyaratan pada kebahagiaanmu. Engkau sering mengatakan, “Kalau saya tidak mendapatkan seorang anak, saya tidak akan pernah bahagia. Itukah standar kebahagiaanmu di dalam hidup ini?”
Apakah Anda pernah mendengar seseorang yang berkata, “Kalau tidak mendapatkan ini atau itu, saya pasti tidak akan bahagia dan mau mengucap syukur.” Dengan kata lain mereka berkata, “Jika belum mendapat posisi tertinggi di perusahaan ini, saya tidak mau bersukacita. Jika belum menjadi seorang jutawan, saya tidak mau berterima kasih pada Tuhan. Kalau tidak memiliki mobil mewah, saya pasti tidak akan bahagia.”
Tahukah Anda bahwa kebahagiaan dan kesenangan hidup tidak terletak pada waktu nanti, tetapi saat ini? Kebahagiaan adalah pilihan. Sekalipun hal yang kurang baik terjadi, kita harus tetap menjaga sukacita dan damai sejahtera. Dan, sesuatu yang baik pasti segera menghampiri. “Seorang yang penuh syukur akan berterima kasih dalam segala situasi. Seorang pengeluh akan mengeluhmeskipun hidup di dalam Surga.” Ketahuilah bahwa orang-orang yang bahagia bukanlah orang-orang yang hidup dengan keinginan yang selalu dipenuhi oleh Tuhan, melainkan orang-orang yang mampu menghadapi kegelapan, tantangan, dan hambatan. Mereka memeranginya, menyiasatinya, dan menang.
Source : Inspirasi 5 Menit (Imelda Saputra)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar